*Azhari Mhd
Krisis lingkungan sudah kian nyata. Alam yang dulu bersahabat dengan manusia kini seakan murka. Di Indonesia pemerkosaan lingkungan telah membawa banjir hingga ketangga istana Jakarta. Luapan lumpur lapindo pada akhir mei 2006 lalu telah menyengsarakan ribuan petani dan karyawan didaerah itu. Ribuan hekta sawah kebun pun kini telah ditelah lumpur panas.
Di aceh badai tsunami pada 2004 silam juga telah menyebabkan kerugian materil tidak kurang adri R.p 6 triliun. Belum lagi kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, gempa dijogja, adalah sedikit peringatan bagi kita untuk segera mereorientasi gaya hidup yang terus memperkosa alam.
Kecongkaan manusia atas determinasinya terhadap alam semesta tidak bisa lagi dibiarkan. Destruksi alam atas manusia harus mendapat tanggapan serius dari seluruh penduduk dunia. Oleh sebab itu ajnuran untuk melestarikan lingkungan yang telah diajarkan sejak zaman purba, layak untuk kembali digali. Ekonomi, politik, sastra, agama, maupun budaya harus kembali ditujukan tidak hanya untuk kemakmuran manusia tapi juga kelestarian alamnya. Diatas semua itu sesungguhnya kelestarian alam semesta dipikul diatas pundak seluruh umat manusia.
Dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man-nya, Sayyid Hussein Nasr (baca-eko teology), menjelaskan ada dua hal mendesak yang urgen untuk kita kaji terkait krisi lingkungan saat ini. Pertama, formulasi dan upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya apa yang disebut ‘hikmah perenial Islam’ (hikmah khalidah/scientia sacra, philosophia perennis) tentang tatanan alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan ‘kesadaran ekologis yang berperspektif teologis’ (eco-theology), dan jika perlu, memperluas wilayah aplikasinya sejalan dengan prinsip agama itu sendiri.
Untuk keperluan itu, sedikitnya ada tiga hal yang perlu ditegaskan di sini. Pertama, menempatkan persoalan lingkungan sebagai bagian dari agama -islam khsusnya-. Dalam kitab al-Muwâfaqât, Abu Ishaq al-Syatibi membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl). Pertanyaan kita: di mana posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam?
Untuk menjawab itu -mengutip pendapat Khatim Ghazali-, Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah (2001), menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.
Kedua, ajaran Taoisme tentang Yin-Yang juga dapat memberi kearifan. Yang biasanya digambarkan sebagai agresif, maskulin, kompetitif, dan rasional. Sementara Yin dilukiskan konservatif, intuitif, kooperatif, feminin, dan responsif. Dalam Taoisme, Yin-Yang harus berjalan secara sejajar dan seimbang, sehingga keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos terwujud. Kenyataan kita lebih suka berpikir rasional, linear, mekanistik, dan materialistik perlu diseimbangkan dengan pengetahuan yang intuitif, non-linear, dan koordinatif, sebagai perwujudan Yin (kearifan ekologis). Ajaran Taoisme ini rasanya penting untuk diadopsi guna menjawab krisis ekologis yang terus mengancam kita.
Terakhir, kita mungkin juga perlu mendengar fatwa Charlene Spretnak dalam The Spiritual Dimension of Green Politics. Di situ dia menekankan pentingnya mengembangkan green politics (politik hijau); gerakan politik yang sadar ekologi. Kebijakan-kebijakan sosial-politik-ekonomi kita sudah saatnya mempertimbangkan soal lingkungan hidup. Sudah waktunya para pejabat negara, politisi, dan partai-partai politik menyuarakan pentingnya kesadaran akan politik hijauatau politik ekologis (ecological politics) ini .
Minggu, 03 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar