Selasa, 15 Juli 2008

TEOLOGI PEMBEBASAN

TEOLOGI PEMBEBASAN PEREMPUAN Nasaruddin Umar Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama pembebasan, terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Bisa dibayangkan, bagaimana masyarakat Arab yang misoginis dan dikenal sering membunuh anak perempuan, tiba-tiba diperintah melakukan pesta syukuran (‘aqiqah) atas kelahiran anak perempuan, meskipun baru sebatas seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor bagi anak laki-laki. Bagaimana suatu masyarakat yang tidak mengenal konsep ahli waris dan saksi perempuan tiba-tiba diberi hak waris dan hak persaksian, meskipun baru dalam batas satu berbanding dua untuk anak laki-laki. Perempuan yang mati terbunuh tiba-tiba harus juga mendapatkan bagian dari denda (diyat), meskipun masih sebatas seperdua dari yang diperoleh laki-laki. Bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai “pelengkap” keinginan laki-laki (Adam) tiba-tiba diakui setara di depan Allah dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni syurga (Q.S. al-Baqarah, 2:35). Bagaimana perempuan (Hawa) dicitrakan sebagai penggoda (temptator) laki-laki (Adam) tiba-tiba dibersihkan namanya dengan keterangan bahwa yang terlibat dalam dosa kosmis adalah kedua-duanya (Q.S. al-A'raf, 7:20). Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S.Ali 'Imran, 3:112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representasi Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujrat, 49:13). Kualitas kesalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya pensucian diri (riyadlah nafsiyyah) melainkan juga kepedulian terhadap penderitaan orang lain (Q.S.Al-Ma'un, 107:1-7). Islam sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran dan relasi jender adalah salahsatu pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus (Q.S.al-Nisa', 4:75) Islam memerintahkan menusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan; baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi jender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan jender dalam masyarakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya. Islam memperkenalkan konsep relasi jender yang mengacu kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari'ah (maqashid al-syari'ah), antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S.al-Nahl, 16:90), keamanan dan ketenteraman (Q.S.Q.S.al-Nisa', 4:58), dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali 'Imran, 3:104). Ayat-ayat ini dijadikan kerangka dalam menganalisa relasi jender dalam Alquran. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya Alquran dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Pada awal-awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan dan suasana batin yang cerah. Rasa percaya diri mereka semakin kuat sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, bukan saja di dalam sektor domestik tetapi juga di sektor publik. Sayang sekali kenyataan seperti ini tidak berlangsung lama karena banyak faktor. Antara lain, semakin berkembangnya dunia Islam sampai kepada pusat-pusat kerajaan yang bercorak misoginis seperti Damaskus, Bagdad dan Persia. Di samping itu, unifikasi dan kodifikasi kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih, yang banyak dipengaruhi oleh budaya lokal, langsung atau tidak langsung mempunyai andil di dalam memberikan pembatasan hak dan gerak kaum perempuan. Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan keberadaan pola relasi jender yang berakar dalam masyarakat. Karena hal tersebut berlangsung cukup lama, maka pola itu mengendap di alam bawah sadar masyarakat, seolah-olah pola relasi jender adalah kodrat (Arab: qudrah berarti ditentukan Tuhan). Bertambah kuat lagi setelah pola relasi kuasa (power relations) menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan masyarakat new patriarchy. Semakin kuat pola relasi kuasa semakin besar pula ketimpangan peran jender di dalam masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktifitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, maka produktifitas perempuan dianggap tidak semaksimal dengan laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik. Akibatnya, terciptalah suatu masyarakat yang didominasi laki-laki (al-mujtama' al-abawiy). Kalau dahulu agama (Islam) identik dengan isu dan wacana pembebasan perempuan, maka kini ada kecenderungan Islam yang identik dengan pembatasan terhadap perempuan. Di penghujung abad ini banyak negara Islam melakukan revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, seringkali yang terjadi di pasca-revolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap perempuan. Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti “merumahkan” perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan, Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di Afghanistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik. Otonomisasi daerah di Indonesia dengan memberikan peran lebih besar kepada tokoh-tokoh adat dan agama setempat, tidak tertutup kemungkinan akan menjadikan perempuan sebagai sasaran dan obyek. Kita tentu sangat berharap agar Islam tidak lagi dijadikan sebagai suatu kekuatan ideologis yang menekan suatu kelompok atau jenis kelamin tertentu dan sebaliknya memberikan keuntungan kepada kelompok atau jenis kelamin tertentu. ________________________________________ Nasaruddin Umar. Dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta.

Tidak ada komentar: